Yang terekam indah dalam masa.
Tatkala rindu, apa daya ku buat?
Telah jua habis ratusan purnama dan satu gerhana sepeninggalan darinya.
Rindu.
Tak habis jua jeli mata itu terngiang seakan memperhatikan.
Tatkala jiwa salah, ia seakan mengingatkan.
Hadir tak ubahnya menyumbat air mata dikala ingin jatuh.
Ingin raga luruh dan bersatu hangat padanya. Yang terkasih.
Dikala rindu tengah mencuat, ingatan seakan terputar pada masa itu.
Dikala tangan indah itu menari nari pada papan koyak beserta kapur setengah badan.
Mengabdi pada yang kelak mengenangnya.
Seorang pelita penghancur kegelapan.
Tetapi naungan itu tak jua hancur dilahap masa.
Dalam gemuruh derap kaki, hidup lah pelita seakan memeluk dalam bayang.
Seakan meraih kerikil lalu membuangnya tatkala badan ingin tersungkur.
Hingga saatnya mentari kembali pada peraduannya.
Sedang badan tak tergerak barang secuil meski itu hanya tiupan angin.
Tatkala tengah menyaksikan Cahaya itu pergi pada Naungannya.
Nampak bias peluh indah itu menyilaukan. Layaknya ingin menghalangi pandangan tatkala ia pergi.
Inginku raih namun daya tak mampu berbuat.
Cahaya yang berganti malam....
Meski bila dihanyut rindu,
Pertemuan akan menghapus semua itu.
Tetapi,
Apa daya raga memeluk tubuh yang habis tatkala hancur diremuk tanah.
Dimana tubuh lunglai ini mengadu rayu?
Tak ubahnya dandelion yang meronta ronta tatkala Cahaya hendak pergi. Sedang ia baru sadar telah kehilangan.
Teruntuknya.....
Biarkan masa yang melahap dengan tamak semua ini.
Tatkala rindu,
Izinkan badan tuk rebah pada pusara basah itu,
Seraya mengadu payu.
Pada yang telah di erat dalam keabadian.
[Taaan]