Deru mesin antik getarkan sejumlah lapisan sunyi.
Mendengkur. Tanpa terelakan sepatah dua patah.
Mengapa perangai genggam tak lagi kembali?
Tatkala dihujam sendu, dekap siapa kelak mendekap?
Sedang telah habis pergi tatkala jemari meremas seakan ingin membuka pintu.
Sunyi kembali.
Kenapa?
Seakan diam adalah pelarian terakhir 'Bagi pecandu sendu'.
Lalu, mengapa lembaran terakhir ini sungkur adanya?
Tidakkah senja indah? Meski itu adalah sebuah akhir?
Entahlah.
Mungkin sendu hanyalah tinta legam yang di kemasnya untuk bingkisan terakhir.
Yang akan mencandu pada siapa yang menyentuhnya.
Yang hilang. Entah diterkam siapa.
Andai angin menampakkan wujud kasarnya, mungkin akan sakit tatkala ia kembali hilang.
Seperti kau.
Pusara Angin
A piece of poems about hurt that you can find here.
Sabtu, 10 September 2016
Senin, 29 Agustus 2016
Kecewa.
Kira nya memandang mendung.
Bukan aritmatika. Bukan geometri.
Tak apa pula diri menangis payu dirundung.
Tatkala ia terbang hilang sedang diri tersungkur sendiri.
.
Yang hilang.
Mengapa hati ini kau bawa jua.
Namun kau buang tatkala meninggi.
Jatuh terhempas pada tanah lapuk pula.
Lalu mati hingga bertemu abadi.
.
Hati. Mati jua tatkala habis dikelana.
Tersungkur kaku namun tak habis pikir 'mengapa ini harus terjadi?'
Sedang ia terbang bahagia. Hilang menuju sandaran berikutnya.
.
Egois.
Setidaknya kau tengah terbang atas sayap yang kusulam dengan Hati yang kini kau sungkur sia sia.
.
Atas itu, tak habis kira mengapa tak ku selipkan sekelumat benci pada celah sayap itu.
Agar kau jatuh,
lalu tersungkur bersamaku.
.
[Taaan]
Sabtu, 27 Agustus 2016
Gerutu Hina
Racau pada bibir bibir kerontang.
Tatkala diam, namun tergerak isyarat bayang.
Inginnya raih namun tak jua melayang.
Jadilah dakocan usang penuh bayang bayang.
Dengannya suburlah pada yang disebut kesia siaan.
Yang tergolek lesu seakan cerminan pada penderitaan.
Dikala acuh pada wicara, tidakkah bibir itu menahan dari kesalahan?
Yang kelak siap menerkam diri lagi kejam jua perlahan.
Mengapa?
Dikala suram tengah mencuat memicu kesal,
Atas kata tanpa arti lagi asal,
Muncul pilu ditambah sia sia nampak merajuk penuh sesal?
Dimana gerangan kebenaran kelak berasal?
Lalu,
Bibir siapa kah kelak meng hardik atas bibir bibir itu?
Tuk mengubur dusta penuh pilu.
Sedang bibir itu tak sampai jua mencanangkan gerutu.
Namun hanya menghujam segudang asap janji yang berlalu.
.
[Taaan]
Rabu, 24 Agustus 2016
PUPUS
Dia.
Yang kusebut indah perangai nya yang masih terukir dalam benak ini. Sebelum pukul 5 senja ini.
Yang tinggalah sebuah debu putih sisa pembakaran sebuah mawar biru yang dilupakan.
Tak tahu berbuat apa seketika merasa Aku-lah jelmaan yang di Sumpah dalam kepedihan.
Ditinggalkan lalu dipertemukan.
Dia.
Yang disebut khalayak Bak' tandu yang membatasi antara hujan dengan pasir.
Kembali jua sebelum berganti purnama semenjak sepeninggalannya.
Apa?
Tidakkah tinggal sebuah Benda Berharga yang terselip hingga kau berusaha memungutnya?
Jika ia, Apa itu?!
Setidaknya telah mati yang disebut sebagai jiwa yang tertanam pada diriku.
Yang lampau di angkat-nya lalu di Hujam Kejam ke bumi.
Entah siapa yang tengah memperdaya arah alam bawah sadarmu itu.
Hingga tanpa hidup nya suatu bangkai yang telah mati sia sia.
Mengapa lesuh?
Setidaknya siluet-ku itu masih tervisualisasi diatas kemeja warna abu abu itu.
Tidakkah Malu yang dirasa?
Datang kembali sementara sosok itu tengah membalut kepingan kepedihan yang masih tercium kehancurannya.
Semudah itukah?
Bak' membalik kertas putih tanpa pembelaan apapun.
Setidaknya kau tengah mengeringkan tetesan sembab milik Orang yang kau buat 'Hancur' pada kemejamu.
Maaf.
Karena,
Tak kan ada angin yang menarik hembusannya.
.
.
[Taaan]
Selasa, 23 Agustus 2016
Kenanga Indah
Yang terekam indah dalam masa.
Tatkala rindu, apa daya ku buat?
Telah jua habis ratusan purnama dan satu gerhana sepeninggalan darinya.
Rindu.
Tak habis jua jeli mata itu terngiang seakan memperhatikan.
Tatkala jiwa salah, ia seakan mengingatkan.
Hadir tak ubahnya menyumbat air mata dikala ingin jatuh.
Ingin raga luruh dan bersatu hangat padanya. Yang terkasih.
Dikala rindu tengah mencuat, ingatan seakan terputar pada masa itu.
Dikala tangan indah itu menari nari pada papan koyak beserta kapur setengah badan.
Mengabdi pada yang kelak mengenangnya.
Seorang pelita penghancur kegelapan.
Tetapi naungan itu tak jua hancur dilahap masa.
Dalam gemuruh derap kaki, hidup lah pelita seakan memeluk dalam bayang.
Seakan meraih kerikil lalu membuangnya tatkala badan ingin tersungkur.
Hingga saatnya mentari kembali pada peraduannya.
Sedang badan tak tergerak barang secuil meski itu hanya tiupan angin.
Tatkala tengah menyaksikan Cahaya itu pergi pada Naungannya.
Nampak bias peluh indah itu menyilaukan. Layaknya ingin menghalangi pandangan tatkala ia pergi.
Inginku raih namun daya tak mampu berbuat.
Cahaya yang berganti malam....
Meski bila dihanyut rindu,
Pertemuan akan menghapus semua itu.
Tetapi,
Apa daya raga memeluk tubuh yang habis tatkala hancur diremuk tanah.
Dimana tubuh lunglai ini mengadu rayu?
Tak ubahnya dandelion yang meronta ronta tatkala Cahaya hendak pergi. Sedang ia baru sadar telah kehilangan.
Teruntuknya.....
Biarkan masa yang melahap dengan tamak semua ini.
Tatkala rindu,
Izinkan badan tuk rebah pada pusara basah itu,
Seraya mengadu payu.
Pada yang telah di erat dalam keabadian.
[Taaan]
Jumat, 19 Agustus 2016
Hilang?
Pada yang disebut Angin.
Lincah. Tanpa berbalik arah.
Pada yang di sebut masa.
Laju pun berlalu.
Bak' siluet kilat menari nari menggeser Angin.
Pada yang di sebut Air.
Laju pun pergi, Namun membekas kuyup raba nya.
Telah terucap kalimat sendu pada tangan tangan mungil.
Yang terabaikan, tatkala di tinggal pergi.
Kemana jiwa jiwa lemah itu dibawa?
Tatkala jiwa nya pun tak sudah kokoh dibuatnya.
Setidaknya, Sajak tak bertuan itu tidaklah habis sebagaimana mesti.
Tak terkira luapan sendu tergolek lemas dalam kenangan.
Hingga tiba saat 'kecewa' berdiri, seakan mengajak tuk lalui bersama.
Ingatkah?
Tali pita berdebu nan kotor t'lah mengerat dirinya pada selongsong kertas rusak sisi luarnya?
Yang terenyam ikatan.
Mengapa?
Tanpa hidup suatu makhluk tuk di sumpah dalam keterpurukan.
Iya 'kan?
Entah rasa ini bergejolak karena apa.
Seakan cerminan Gadis kecil merajuk saat di tinggal pergi sang paman.
Dapatkah kita sudahi nan indah pesona nya?
Bukan layaknya guratan yang tersayat garpu penuh karat.
.
Kamis, 18 Agustus 2016
Rintihan Rindu
Deru nya menghantam sunyi.
Jatuh dari singgasana nya lalu di hujam kejam ke bumi.
Dan menjadi puing puing dalam genangan.
Seru ia, "Hujan."
Bias bias indah nan lembab menyertai sosok kaku pada yang di balik jendela.
Yang setia nya menghitung bias itu pada jemari yang telah dikutuk atas pelukan itu.
Mengapa?
Dikala angin menerbangkan ranting, tetapi ranting tak jua menuntut balas?
Meski ia hancur akan itu.
Seru ia yang perangai nya tergolek indah pada hati seseorang.
Pada yang dibalik jendela.
Tidakkah hujan itu mengisyaratkan sesuatu?
Tentang telah di sumpahnya seseorang tuk "Merindu?"
Jika iya, siapakah gerangan?
Sebut ia kembali, "hujan."
Yang lampau di angkatnya pada rangkulan indah.
Lalu dibawanya pada suatu tempat.
Dan akhirnya dihempas sia sia lalu jatuh penuh tangis dan mati dalam diam.
Lalu mengapa?
Dikala hujan menangis penuh sesak,
Tetapi awan lebih memilih pergi tatkala 'hujan' tengah merindukannya.
Namun apalah arti hujan yang telah di hardik dalam kepedihan?
Yang meninggalkan bekas basah yang menghujam jiwa. Pada sosok dibalik jendela.
Jatuh dari singgasana nya lalu di hujam kejam ke bumi.
Dan menjadi puing puing dalam genangan.
Seru ia, "Hujan."
Bias bias indah nan lembab menyertai sosok kaku pada yang di balik jendela.
Yang setia nya menghitung bias itu pada jemari yang telah dikutuk atas pelukan itu.
Mengapa?
Dikala angin menerbangkan ranting, tetapi ranting tak jua menuntut balas?
Meski ia hancur akan itu.
Seru ia yang perangai nya tergolek indah pada hati seseorang.
Pada yang dibalik jendela.
Tidakkah hujan itu mengisyaratkan sesuatu?
Tentang telah di sumpahnya seseorang tuk "Merindu?"
Jika iya, siapakah gerangan?
Sebut ia kembali, "hujan."
Yang lampau di angkatnya pada rangkulan indah.
Lalu dibawanya pada suatu tempat.
Dan akhirnya dihempas sia sia lalu jatuh penuh tangis dan mati dalam diam.
Lalu mengapa?
Dikala hujan menangis penuh sesak,
Tetapi awan lebih memilih pergi tatkala 'hujan' tengah merindukannya.
Namun apalah arti hujan yang telah di hardik dalam kepedihan?
Yang meninggalkan bekas basah yang menghujam jiwa. Pada sosok dibalik jendela.
Langganan:
Postingan (Atom)